Estimasi Sumberdaya Batugamping Menggunakan Metode Geolistrik Resistivity 2D Konfigurasi Pole-Pole di Kabupaten Aceh Selatan

 

Winda1, Ali Amdad Prawira Pulungan2

Teknik Pertambangan UPN “Veteran” Yogyakarta

winda@upnyk.ac.id

 

Abstract

In this region CV. Berkah Alam Sejahtera conducts exploration by drilling in areas that have been considered prospects and finds the potential for the discovery of abundant limestone resource reserves. However, if all exploration is done by drilling, it will require a large cost and a long time so that the solution is to find a relatively fast and more efficient method to determine limestone resources. From these problems, a suitable method was found to detect the subsurface layer that is suspected to have limestone resources. The method is a method of measuring geoelectric resistivity by using pole-pole configuration. The reason for using pole-pole configuration is because this configuration can detect the deepest subsurface layer compared to other configuration methods and this pole-pole configuration is also suitable for layers of sedimentary rocks that have similar layer characteristics. From the selection of geoelectric resistivity measurement method with pole-pole configuration will be a way out to determine the estimation of limestone resources and can be used for the needs of the company's prospects in the future. Resistivity value in limestone is divided into 2 types, namely weathered limestone (Marl) with a resistivity value of 250-500 ohms.M and massive limestone with a resistivity value of 500-5000 ohms.m. It has been adapted to the field data. Based on the calculation of the volume of weathered limestone and massive limestone to the limit of elevation 0 MASL from the results of data processing by using software oasis montaj (3D Geosoft) obtained the final volume of weathered limestone (Marl) with the assumption of limestone density 2.24 tons/m3 then obtained the final volume of 565,092,864 tons and massive limestone with the assumption of limestone density 2.66 tons/m3 then obtained the final volume of 565,092,864 tons.

 

Keywords : Geoelectric, Exploration, Resources.

Abstrak

Pada wilayah ini CV. Berkah Alam Sejahtera melakukan eksplorasi dengan pemboran pada daerah yang telah dianggap prospek dan menemukan hasil adanya potensi ditemukannya cadangan sumberdaya batugamping yang melimpah. Namun jika semua eksplorasi dilakukan dengan pemboran maka akan memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama sehingga solusi yang dilakukan adalah mencari metoda yang relatif cepat dan lebih efesien untuk mengetahui sumberdaya batugamping. Dari permasalahan tersebut ditemukan metode yang cocok untuk mendeteksi lapisan bawah permukaan yang diduga memiliki sumberdaya batugamping. Metode tersebut yaitu metode pengukuran geolistrik resistivity dengan mengunakan konfigurasi pole-pole. Alasan mengunakan konfigurasi pole-pole karena konfugurasi ini yang dapat mendeteksi lapisan bawah permukaan yang paling dalam dibandingkan dengan metode konfigurasi lainnya dan konfigurasi pole-pole ini juga cocok digunakan untuk lapisan batuan sedimen yang memiliki ciri layer yang sejenis. Dari pemilihan metode pengukuran geolistrik resistivity dengan konfigurasi pole-pole ini nantinya menjadi jalan keluar untuk mengetahui estimasi sumberdaya batugamping dan dapat digunakan untuk kebutuhan prospek Perusahaan kedepannya. Nilai resistivity pada batugamping dibedakan menjadi 2 jenis yaitu batugamping lapuk (napal) dengan nilai resistivitas 250-500 ohm.m dan batugamping masif dengan nilai resistivitas 500-5000 ohm.m. Hal tersebut telah disesuaikan dengan data lapangan. Berdasarkan perhitungan volume batugamping lapuk dan batugamping masif sampai batas elevasi 0 mdpl dari hasil pengolahan data dengan mengunakan software oasis montaj (3d Geosoft) didapatkan hasil volume akhir dari batugamping lapuk(napal) dengan asumsi densitas batugamping 2,24 ton/m3 maka didapat volume akhir sebesar 565.092.864 ton dan batugamping masif dengan asumsi densitas batugamping 2,66 ton/m3 maka didapat volume akhir sebesar 565.092.864 ton.

 

Kata kunci: Geolistrik, Eksplorasi, Sumberdaya.

Corresponding Author; Winda

E-mail: winda@upnyk.ac.id

 

 

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan akan sumberdaya alam yang melimpah salah satunya adalah batugamping yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku semen (Alpiana, Rahmawati, & Anggraeni, 2018). Kebutuhan semen di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, hal ini mendorong perusahaan semen di Indonesia untuk mencari daerah prospek yang baru untuk dilakukan penambangan batugamping (Sos, 2019). CV. Berkah Alam Sejahtera kemudian mulai melakukan penyelidikan daerah prospek di Aceh Selatan. Wilayah batugamping di daerah Aceh Selatan memiliki morfologi dengan banyaknya bukit-bukit berbentuk melingkar serta diameter lembah-lembah ratusan meter hingga puluhan kilometer (Amdad, Nusanto, Saputro, Lusantono, & Riyadi, 2024).

CV. Berkah Alam Sejahtera melakukan eksplorasi dengan pemboran pada daerah yang telah dianggap prospek dan menemukan hasil adanya potensi ditemukannya cadangan sumberdaya batugamping yang melimpah (ISJUDARTO & MT, 2017). Namun jika semua eksplorasi dilakukan dengan pemboran maka akan memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama sehingga solusi yang dilakukan adalah mencari metoda yang relatif cepat dan lebih efesien untuk mengetahui sumberdaya batugamping (Tryono, 2016).

Dari permasalahan tersebut ditemukan metode yang cocok untuk mendeteksi lapisan bawah permukaan yang diduga memiliki sumberdaya batugamping (Krisnasiwi & Sundari, 2021). Metode tersebut yaitu metode pengukuran geolistrik resistivity dengan mengunakan konfigurasi pole-pole (PULUNGAN, 2023). Alasan mengunakan konfigurasi pole-pole karena konfugurasi ini yang dapat mendeteksi lapisan bawah permukaan yang paling dalam dibandingkan dengan metode konfigurasi lainnya dan konfigurasi pole-pole ini juga cocok digunakan untuk lapisan batuan sedimen yang memiliki ciri layer yang sejenis (Manrulu, Nurfalaq, & Hamid, 2018). Dari pemilihan metode pengukuran geolistrik resistivity dengan konfigurasi pole-pole ini nantinya menjadi jalan keluar untuk mengetahui estimasi sumberdaya batugamping dan dapat digunakan untuk kebutuhan prospek Perusahaan kedepannya (Susilo et al., 2022).

Ada pun penelitian yang serupa dilakukan oleh (Amdad et al., 2024), dalam penelitiannya yang berjudul “Identifikasi Air Dibawah Batugamping Menggunakan Metode Geolistrik Resistivity 2d Dan Vertical Electrical Sounding Di Kabupaten Aceh Selatan". Hal ini bertujuan untuk mengetahui teori penelitian dilapangan, pengolahan data dengan software yaitu Res2dinv, IPI2Win, AutoCad ,Rockwork dangeosoft. Hasil penelitian terdahulu dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tentang Aplikasi metode Res2dinv untuk eksplorasi air bawah tanah dan hasil pemboran yang telah dilakukan perusahaansebelumnya. Dari hasil penggabungan semua jalurair bawah permukaan maka dapat diketahui pola aliran air bawah  permukaan  pada  daerah  penelitian  tesebut

 

Metode Penelitian

Studi ini memilih secara random universitas negeri yang ada di Indonesia berdasarkan lokasinya (kampus urban dan kampus suburban). Namun sangat diutamakan lokasi yang dipilih adalah lokasi yang memiliki tampilan street view pada google maps, karena penilaian tingkat walkability pada penelitian ini akan didasari oleh tampilan pada street view, seperti studi penilaian walkability yang dilakukan oleh Li (2016). 4 universitas yang dipilih yakni Universitas Gadjah Mada (Yohyakarta), Universitas Mulawarman (Samarinda), Universitas Sumatera Utara (Medan), dan Universitas Udayana (Bali).

Setelah itu, beberapa poin penting dari kriteria pejalan kaki diambil dari beberapa literatur dan studi sebelumnya yang berkaitan dengan walkability dan kondisi jalur pejalan kaki. Kriteria dan poin kunci tersebut kemudian dimanfaatkan untuk mengembangkan alat penilaian yang akan digunakan untuk mengukur kondisi walkability pada setiap sampel. Semua data ruas jalan yang terekam pada alat penilaian kemudian digunakan untuk membangun peta sampel untuk menunjukkan dan mengungkapkan kondisi walkability di dalam dan sekitar kampus.

Dalam studi ini, kawasan di luar kampus didefinisikan sebagai kawasan yang berada dalam jarak 600 meter yang kemudian disebutkan sebagai buffer zone yang dihitung dari setiap gerbang kampus. Walkability setiap area di luar kampus diukur dengan faktor kebutuhan utama untuk berjalan kaki yang dipilih dari hirarki kebutuhan jalan kaki. Penulis akan membandingkan rasio ukuran kampus dengan ukuran radius kenyamanan berjalan kaki. Semakin tinggi rasio antara zona kenyamanan berjalan kaki terhadap ukuran kampus, berarti kampus dapat memiliki area yang luas yang dapat diakses dalam radius berjalan kaki. Selain mengundang lebih banyak perumahan di dalam radius berjalan kaki, hal ini juga berpotensi dapat mengurangi jumlah mahasiswa yang menggunakan kendaraan bermotor untuk mengakses kampusnya, dengan catatan kondisi walkability menuju kampus dalam kondisi yang baik.

Setiap segmen jalan dalam radius 600 meter dari gerbang kampus akan dilakukan asesmen. Hasilnya lalu kemudian ditampilkan pada peta dan data statistik dari setiap sampel akan dibandingkan untuk mencoba melihat kampus mana yang memiliki nilai walkability terbaik termasuk area sekitarnya. Pengukuran untuk nilai setiap segmen jalan lalu akan dicatat dengan menggunakan alat evaluasi yang telah terlebih dulu disusun.

Hal lain yang akan diobservasi adalah bentuk dari poligon untuk radius kenyamanan berjalan kaki (catchment area). Idealnya catchment area di sekitar kampus akan meliputi seluruh area blok tepat di sisi tembok/batas/pagar kampus tersebut. Singkatnya, polygon tidak akan terpotong di salah satu bagian dari pagar/tembok/batas kampus tersebut.

Setelah melakukan observasi mengenai catchment area, metode selanjutnya yakni menyusun instrumen/alat asesmen untuk tingkat walkability pada studi ini. Penyusunan instrumen didasari oleh hirarki kebutuhan berjalan kaki oleh Alfonso (2005) yang terdiri atas tingkat kesenangan, tingkat kenyamanan, tingkat keamanan, tingkat aksesibilitas, dan kelayakan. Karena studi ini berfokus pada platform berjalan kaki, yakni tepian jalan ataupun trotoar, maka hanya kenyamanan, keamanan, dan aksesibilitas yang digunakan sebagai variabel utama dalam penysusunan alat instrumen dalam studi ini.

Setelah 3 variabel telah ditetapkan, langkah berikutnya adalah menentukan pembobotan untuk masing masing variabel tersebut dengan cara membuka pengisian kuisioner. Sebanyak 324 orang mengisi kuisioner mulai dari rentang umur 15 hingga 63 tahun dengan 102 diantaranya berada pada kelompok 21 sampai 25 tahun. Salah satu pertanyaan dalam kuisioner adalah “menurut anda, faktor apa yang paling penting yang harus dimiliki oleh jalur pejalan kaki di Indonesia?” dengan opsi pilihan jawaban keamanan, kenyamanan, atau aksesibilitas. Dari 3 variabel dihasilkan 6 indikator yang setiap indikatornya memiliki 3 range Penilaian yang akan disesuaikan dengan kondisi setiap segmen jalan di lapangan (tabel 1). Setiap indikator kemudian dijumlahkan untuk menghasilkan nilai walkability seperti yang diilustrasikan pada gambar 1.

Gambar 1. Konsep kerja dari alat asesmen tingkat walkability

 

Tabel 1. Variabel dan Indikator yang digunakan dalam Menyusun instrumen walkability

Variabel

Indikator

Instrumen Rujukan

Kriteria

Pembobotan

 

 

 

 

 

 

 

 

Tingkat kenyamanan (37% responden)

Kondisi permukaan jalur berjalan kaki

SPACES, PEDS, WABSA

Tidak terdapat keretakan/lubang

19 poin

Terdapat keretakan/lubang

10 poin

Rusak berat, masih berupa pasir-batu-tanah

1 poin

Shading/proteksi sinar matahari

SPACES, PEDS, Q-PLOS

Rasio lebar jalan lebih kecil dibandingkan ketinggian bangunan di tepi jalan atau segmen jalan tertutupi pohon

18 poin

Rasio lebar jalan hampir sebanding dengan ketinggian bangunan di tepi jalan atau hanya ditutupi oleh Sebagian pohon

9 poin

Rasio lebar jalan lebih besar dibandingkan ketinggian bangunan di tepi jalan atau sedikit pohon dalam segmen jalan.

1 poin

 

 

 

 

 

 

 

Tingkat keamanan (36% responden)

Ketersediaan jalur pejalan kaki/ trotoar

SPACES, PEDS, WABSA, Q-PLOS

Jalur pejalan kaki terpisah dengan jalur kendaraan.

18 poin

Jalur pejalan kaki berbagi dengan jalur kendaraan (hanya terpisah garis jalan).

5 poin

Tidak ada pembatas atau garis jalan untuk membatasi ruang pejalan kaki.

1 poin

Penerangan/ Pencahayaan

SPACES, WABSA, PEDS, Q-PLOS

Terdapat penerangan di setiap 25 meter

18 poin

Terdapat penerangan dalam jarak 30 hingga 50 meter

10 poin

Hanya terdapat penerangan di setiap 5o meter atau lebih

1 poin

Aksesibilitas (27% responden)

Gangguan/ blockade

SPACES, PEDS, Q-PLOS

Tidak terdapat gangguan

14 poin

Gangguan oleh furnitur jalan

7 poin

Gangguan oleh hal lain selain furnitur jalan

1 poin

Slope/kemiringan untuk kursi roda ataupun sepeda

SPACES, WABSA, PEDS, Q-PLOS

Terdapat jalur pejalan kaki dengan slope wheelchair yang memadai

13 poin

Terdapat jalur pejalan kaki namun dengan slope yang tidak memadai, atau tidak terdapat jalur pejalan kaki namun memiliki leveling ketinggian yang sama di persimpangan jalan.

5 poin

Tidak terdapat jalur pejalan kaki maupun slope yang memadai

1 poin

Sumber: Diolah oleh Penulis

 

Tabel 1 di atas memberi penjelasan mengenai variabel dan indikator yang digunakan dalam studi ini, serta beberapa instrument asesmen lain yang digunakan di beberapa negara. Masing masing kriteria variabel diberi pembobotan dengan jumlah maksimum poin untuk setiap variabel menggunakan presentasi pengisi kuisioner.

Setelah alat instrument dan konsep penilaian walkability telah ditentukan, langkah selanjutnya adalah membangun database dari setiap segmen jalan yang berada di area studi. Segmen jalan yang dimaksud adalah setiap ruas jalan yang dipisahkan oleh persimpangan, baik berupa pertigaan, perempatan, simpang lima, dan seterusnya. Setelah dilakukan asesmen setiap segmen jalan dengan menggunakan 18 kriteria yang ditampilkan dalam tabel 1, hasil dari setiap segmen jalan kemudian dicatat sesuai dengan urutan jalan masing masing. Pada aplikasi Google Earth, setiap segmen jalan kemudian didigitasi berurutan sesuai dengan urutan dari jalan yang diasesmen. Proses ini dilakukan secara terus menerus hingga seluruh segmen jalan yang berada di lokasi studi telah selesai diasesmen dan digitasi. Alurnya secara berturut turut ditampilkan pada gambar 2.

 

Gambar 2. Alur asesmen setiap segmen jalan

 

Setelah seluruh segmen jalan telah selesai diasesmen dan didigitasi, selanjutnya semua data nilai walkability setiap segmen jalan dan data digitasi segmen jalan dimasukkan ArcGIS sebagai program pembuatan peta. Karena setiap data jalan dan file digitasi peta berurutan, maka data nilai walkability dikombinasikan dengan data digitasi segmen jalan. Sehingga dapat terlihat seluruh nilai walkability pada lokasi studi yang secara visual tampak pada peta. Urutan kombinasi file ini dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Proses pembuatan peta walkability

 

Hasil dan Pembahasan

Lokasi dan Kesampaian daerah

Gambar 4  Lokasi dan Kesampaian Daerah

 

Peralatan dan Perlengkapan Geolistrik

            Alat yang digunakan dalam pengukuran Geolistrik adalah Automatic Resistivity (ARES) dengan sumberdaya baterai (Accu) 12 Volt (Octavani & Kadri, 2018). Pada prakteknya di lapangan, alat ini dapat mempercepat proses akuisisi data (Dirhamsyah et al., 2023). Secara lebih terperinci, berikut ini merupakan peralatan yang digunakan untuk survei sebagai berikut:

  1. Alat utama  ARES  (Automatic Resistivity).
  2. 4 gulung kabel potensial dengan panjang 400 m.
  3. 6 buah accu basah.
  4. 48 buah elektroda arus yang  terbuat dari stainless steel
  5. 2 buah elektroda potensial yang terbuat dari tembaga.
  6. 2 buah Global Positioning System (GPS) untuk mengukur posisi koordinat dan ketinggian.
  7. Palu sebanyak 4 buah.
  8. 2 buah multichannel yang digunakan sebagai switch box.
  9. Peralatan penunjang: 8 buah HT, 2 buah terpal, alat tulis, dan lembar data lapangan.

 

Hasil Pengolahan Data Geolistrik 2D

            Pengolahan data geolistrik dilakukan untuk mendapatkan informasi bawah permukaan berupa penampang 2D (Yuliana, Tryono, & Minarto, 2017). Pengolahan Data geolistrik 2D ini dilakukan dengan menggunakan software Res2dinv (Fitrianto, Supriyadi, Mukromin, & Taufiq, 2017). Berikut merupakan tahapan pengolahan data geolistrik yang dilakukan pada lintasan gelistrik penelitian (Pramatasari, Khumaedi, & Linuwih, 2015). Adapun langkah pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan download data dari Alat ARES. Setelah hasil pengukuran setiap line diperoleh dimasukkan dalam tabel dengan bentuk format excel worksheet. Kemudian datanya diubah dalam bentuk notepad. Data yang telah disusun sedemikian rupa tersebut dimasukkan ke program Res2Dinv dengan konfigurasi pole-pole.

            Setelah membuat file data input yng sudah dikoreksi dengan topografi (Jarwanto, 2022), dilanjutkan dengan masuk ke program utama dengan mengaktifkan file Res2Dinv. Kemudian memilh menu ”file” dan pilih ”read data file” untuk membaca data file input yang telah dipilih, dilanjutkan dengan memilih menu ”inversion” dan ”least square inversion”, kemudian dilakukan smoothing dan pilih menu pembacaan nilai resistivity asli agar nilai error yang dihasilkan nilainya lebih kecil tapi semua itu tergantung interpreter, kemudian secara otomatis program akan melakukan proses literasi dan setelah beberapa saat akan menampilkan model data asli dari lapangan seperti Gambar 5.

 

Gambar 5  Penampangan hasil output program Res2Dinv Lintasan A

 

            Gambar penampang yang dihasilkan dari program Res2Dinv  seperti terlihat pada Gambar 5 yaitu:

1.                  Penampang pertama (Gambar 5 atas) merupakan penampang tahanan jenis semu. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran dan skemanya dapat dilihat cocok atau tidak dengan kondisi lapangan pada saat pegukuran.

2.                  Penampang kedua (Gambar 5 tengah), gambar penampang ini merupakan pendekatan model penampang hasil perrhitungan komputer terhadap pengampang tahanan jenis semunya (gambar atas).

3.                  Penampang ketiga (Gambar 5 bawah), apabila data lapangan dan hasil perhitungan komputer tersebut sama atau cocok maka model pada penampang ketiga ini sesuai dengan keadaan sebenarnya.

 

            Pengolahan data penampang kemudian dilanjutkan untuk dimasukan koreksi topografi dan nilainya disesuaikan dengan singkapan batugamping yang dijumpai di sekitar central pengukuran, maka hasil penampangnya dapat dilihat seperti gambar 6 dibawah ini:

diduga batugamping masif

Gambar 6  Penampang Geolistrik Korelasi dengan Topografi Lintasan A

 

Pemodelan Estimasi Sumberdaya

            Estimasi sumberdaya berdasarkan data geofisika merupakan tahap selanjutnya dari hasil pengukuran 2D yang dilakukan di lapangan. Data-data tersebut dimasukkan ke dalam software Res2dinv untuk mendapatkan pemodelan 2D dari penampang bawah permukaan yang telah diukur. Selanjutnya file tersebut disimpan dalam format xyz untuk data pengolahan ke dalam software geosoft. Pada software geosoft nantinya dilakukan pengolahan terhadap pemodelan data blok sehingga akan muncul persebaran data secara 2D dan 3D menurut resistivitasnya.

            Klasifikasi batugamping dalam penelitian ini dibagi kedalam 2 jenis yaitu batugamping lapuk (napal) dengan nilai resistivitas 250-500 ohm.m dan batugamping masif dengan nilai resistivitas 500-5000 ohm.m. Berikut gambar 7 merupakan hasil persebaran batugamping 2D yang dihasilkan dari pengolahan software geosoft.

 

Gambar 7  Lintasan pengukuran geolistrik

 

            Dari gambar 7 kita mendapatkan informasi persebaran secara 2D maka akan dilanjutkan dalam perhitungan estimasi sumberdaya. Hasil akhir dari software Geosoft ini akan mendapatkan volume batuan sesuai data yang dibutuhkan, dalam hal ini volume batugamping. Selanjutnya untuk estimasi sumberdaya volume batuan dikalikan dengan densitas batuan tersebut (m³/ton) sehingga akan didapatkan tonase dari sumberdaya tersebut, lalu hasil tersebut dikalikan dengan 60% menurut teori Annel. Dalam estimasi sumberdaya ini mempertimbangkan aspek homogenitas batugamping, sehingga tingkat kepercayaan tinggi.

 

Hasil estimasi sumberdaya batugamping lapuk (napal)

            Hasil sstimasi sumberdaya batugamping lapuk(napal) berdasarkan perhitungan volume batugamping masif sampai batas elevasi 0 mdpl didapatkan volume total sebesar 420.456.000 m3, dengan asumsi densitas batugamping sebesar 2,24 ton/m3 maka didapat tonase sumberdaya batugamping adalah sebesar 941.821.440 ton. Hasil volume akhir batugamping pada daerah penelitian ini setelah dikalikan dengan 60 % didapatkan volume sebesar 565.092.864 ton.

 

Gambar 8  Hasil pemodelan 3D Geosoft pada batugamping lapuk (napal)

 

Hasil estimasi sumberdaya batugamping masif

            Hasil sstimasi sumberdaya batugamping masif berdasarkan perhitungan volume batugamping masif sampai batas elevasi 0 mdpl didapatkan volume total sebesar 1.503.410.000 m3, dengan asumsi densitas batugamping sebesar 2,66 ton/m3 maka didapat tonase sumberdaya batugamping adalah sebesar 3.999.070.600 ton. Hasil volume akhir batugamping pada daerah penelitian ini setelah dikalikan dengan 60 % didapatkan volume sebesar 2.399.442.360 ton.

Gambar 9  Hasil pemodelan 3D geosoft pada batugamping masif

 

Kesimpulan

Berdasarkan kajian yang dilakukan yang mengacu pada hasil pengukuran geolistrik konfigurasi pole-pole, bukti dan fenomena yang ditemui di lapangan, pengolahan data dan analisis terhadap data primer maupun sekunder yang diperoleh selama kajian penelitian berlangsung, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Pengukuran geofisika yang dilakukan pada penelitian ini merupakan pengukuran metode geolistrik dengan menggunakan konfigurasi pole-pole. Nilai resistivity pada batugamping dibedakan menjadi 2 jenis yaitu batugamping lapuk (napal) dengan nilai resistivitas 250-500 ohm.m dan batugamping masif dengan nilai resistivitas 500-5000 ohm.m. Hal tersebut telah disesuaikan dengan data lapangan.
  2. Berdasarkan perhitungan volume batugamping lapuk dan batugamping masif sampai batas elevasi 0 mdpl dari hasil pengolahan data dengan mengunakan software oasis montaj (3d Geosoft) didapatkan hasil volume akhir dari batugamping lapuk(napal) dengan asumsi densitas batugamping 2,24 ton/m3 maka didapat volume akhir sebesar 565.092.864 ton dan batugamping masif dengan asumsi densitas batugamping 2,66 ton/m3 maka didapat volume akhir sebesar 565.092.864 ton.

 

Daftar Pustaka

Alpiana, Alpiana, Rahmawati, Diah, & Anggraeni, Juraedah Dwi. (2018). Evaluasi Sumberdaya Batugamping di Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat. Paedagoria: Jurnal Kajian, Penelitian Dan Pengembangan Kependidikan, 7(2), 46–52.

Amdad, Ali, Nusanto, Gunawan, Saputro, Kristanto Jiwo, Lusantono, Oktarian Wisnu, & Riyadi, Faizal Agung. (2024). Identifikasi Air Dibawah Batugamping Menggunakan Metode Geolistrik Resistivity 2d Dan Vertical Electrical Sounding Di Kabupaten Aceh Selatan. Jurnal Teknologi Pertambangan, 9(2), 100–105.

Dirhamsyah, Muhammad, Away, Yuwaldi, Jamil, M., Putra, T. Edisah, Ibrahim, Masri, & Novandri, Andri. (2023). Pemanfaatan Google Spreadsheet Untuk Akuisisi Data Online Bagi Guru SMK di Banda Aceh. Kawanad: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(1), 51–57.

Fitrianto, Taufik Nur, Supriyadi, Supriyadi, Mukromin, Teguh Maulana, & Taufiq, Ulil Albab. (2017). Pencitraan 3D Data Geolistrik Resistivitas dengan Rockworks Berdasarkan Hasil Inversi Res2DInv untuk Mengetahui Persebaran Batuan Andesit di Desa Bapangsari Kecamatan Bagelen Kabupaten Purworejo. Jurnal Fisika, 7(2).

ISJUDARTO, Ir A., & MT, NIDN. (2017). Analisis Potensi Sumberdaya Andesit Pada Pt. Mineral Daya Gemilang Desa Jatimulyo Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. sekolah tinggi teknologi nasional yogyakarta.

Jarwanto, Jarwanto. (2022). Perbandingan Penggunaan Data Hasil Pengukuran Awal Dengan Pengukuran Kedua Menggunakan Software Autocad Landesktop 2009. Respati, 17(1), 53–59.

Krisnasiwi, Ika Fitri, & Sundari, Woro. (2021). Pendugaan potensi air tanah menggunakan metode geolistrik di Desa Oeseli dan Desa Oelolot Kecamatan Rote Barat Laut Kabupaten Rote Ndao Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Teknologi, 15(2), 64–72.

Manrulu, Rahma Hi, Nurfalaq, Aryadi, & Hamid, Iis Dahlia. (2018). Pendugaan sebaran air tanah menggunakan metode geolistrik resistivitas konfigurasi wenner dan schlumberger di kampus 2 universitas cokroaminoto palopo. Jurnal Fisika Flux: Jurnal Ilmiah Fisika FMIPA Universitas Lambung Mangkurat, 15(1), 6–12.

Octavani, Arie Sapta, & Kadri, Muhammad. (2018). Analisis Resistivitas Bawah Permukaan Menggunakan Metode Geolistrik Konfigurasi Wenner–Schlumberger dan Dipole-Dipole di daerah geothermal Gunung Sibayak kabupaten Karo Provinsi sumatera utara. Jurnal Einstein.

Pramatasari, Rafi Wido, Khumaedi, Khumaedi, & Linuwih, Suharto. (2015). Aplikasi Metode Geolistrik Resistivitas Untuk Mengetahui Potensi Longsor Dan Ambles Di Jalan Weleri–Sukorejo Kabupaten Kendal. Unnes Physics Journal, 4(2).

PULUNGAN, A. L. I. AMDAD PRAWIRA. (2023). Interpretasi Air Dibawah Batugamping Menggunakan Metode Geolistrik Resistivity 2d Konfigurasi Pole-Pole Dan Vertical Electrical Sounding Di Kabupaten Aceh Selatan. UPN" Veteran" Yogyakarta.

Sos, Geradi Yudhistira S. (2019). Analisis Peran Walhi Dalam Advokasi Pencegahan Eksploitasi Kawasan Karst Oleh Industri Semen Di Indonesia. Universitas Islam Indonesia.

Susilo, Adi, Juwono, Alamsyah Mohammad, Fitriah, Fina, Puspita, Mayang Bunga, Hasan, Muhammad Fathur Rouf, Hisyam, Farizky, & Suryo, Eko Andi. (2022). Teori dan Aplikasi Metode Geolistrik Resistivitas. Universitas Brawijaya Press.

Tryono, F. X. Yudi. (2016). Peranan geologi dalam sistem hidrokarbon serta potensi dan tantangan eksplorasi migas di Indonesia. Swara Patra: Majalah Ilmiah PPSDM Migas, 6(2).

Yuliana, Eka, Tryono, F. X. Yudi, & Minarto, Eko. (2017). Aplikasi Metode Geolistrik Tahanan Jenis Untuk Identifikasi Zona Bidang Gelincir Tanah Longsor Studi Kasus Desa Nglajo Kec. Cepu Kab. Blora. Jurnal Sains Dan Seni ITS, 6(2), B42–B47.